Kehidupan Dunia Soal Kalkulasi
Cerpen 9.
Hari ini rabu. Satu hari lagi jum'at. Sudah dua minggu ini raja setiap sore selalu menatap bunga-bunga kamboja di belakang kamar tidurnya. Ribuan tahun berlalu arah kerajaan ini menyambut pagi yang gegap gempita dan selalu kamar raja terletak di pojok belakang.
Terkadang ia sampai tertidur di tengah lamunannya. Semilir angin bagai memijat-mijat penat di sekujur tubuhnya. Aktivitas kerajaan menjadi semakin sunyi dari hari ke hari, mungkin karena raja sudah jarang ada di tengah-tengah mereka. Pasar bukanlah wajah keramaian. Pasar menjadi berdebu dan sarang laba-laba membentui pola-pola. Hampir tidak ada kuda dan gerobak yang memadati jalan utama. Semua sepi, sunyi dan diam.
Suatu ketika putra semata wayangnya bertanya "Tuan, apakah yang terjadi padamu?" Tuan raja masih tetap memperhatikan pucuk matahari yang kian tergelincir menjemput malam tiba. Begitu kamar gelap gulita hanya remang cahaya dari pantulan bulan yang menggantung di langit, tuan raja mulai berbalik menatap anaknya.
"Tak apa, anakku. Aku hanya ingin sendiri. Semenjak jum'at yang lalu aku merasa kerajaanku tidaklah besar, tak hanya secuil kukumu, bagai debu saja itu masih terlalu kebesaran."
"Apa yang membuat tuan berpikir seperti itu? Bukankah kita sudah meluaskan wilayah sampai malaka, indo-china, bahkan mongol kemungkinan akan takluk di tanganmu juga?"
"Tidak anakku. Semua itu hanyalah sebuah kalkulasi wilayah kekuasaanku. Tapi kita tidak pernah juga berkalkulasi siapa pemilik jagat raya sesungguhnya? Kita semua hanya mengakui berdasarkan peperangan, rampasan, pemberian, dan sebab-sebab lain.
Anakku. Jum'at yang lalu kupingku serasa di gerogoti kutu-kutu liar tatkala aku menghadiri pembacaan puisi jagat raya."
"Siapa yang membuat tuan merasa begitu tragisnya? Bukankah intelijen kita sudah sangat mahir hanya untuk membunuh satu manusia saja?"
"Tidak anakku. Aku tak akan membunuhnya. Aku malah bersyukur dapat mendengar sastra yang ia bacakan. Beberapa sajak yang masih aku ingat adalah...
*...Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya dan dengan itu aku diperintahkan untuk tidak menyekutukan-Nya...*
*...*
*...Tunjukkanlah kami jalan yang lurus...*
*...*
*Sungguh, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata*
*...*
*Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.*
*...*
Sebab itulah anakku, aku selalu memperhatikan bunga-bunga kamboja ini. Betapa bunga inilah yang akan menemani hari-hari akhir peristirahatanku. Tidakkah kekuasaanku, hartaku, semua orang terdekatku tak akan berarti apapun di hari akhirku. Sebab itu pula aku menunggu matahari tenggelam untuk membiasakan diri melihat cahaya di tengah kegelapan anakku. Gantikanlah tahta kerajaan ini jika engkau mau. Sungguh, aku akan menyiapkan hari akhirku.
Teks asli di publikasikan pada tanggal 15 Agustus 2018.
Gabung dalam percakapan