Sebuah Cerita Di Kala Petang
Bagong, aku kira bertahun-tahun lalu, aku akan kehilangan sebuah keluarga. Mengapa kala itu aku maju mundur untuk memutuskan sesuatu, itulah jawabannya. Meski, ya begitulah hidup, seperti yang pernah aku tulis bahwa setiap pertemuan adalah awal dari perpisahan. Pada akhirnya, takdirku memang di tulis untuk meninggalkan tempat yang telah lama menampung segala tangisku, peluhku dan bahagiaku.
Tidak terkecuali kini. Saat itu rasanya belum genap sebulan aku bertemu dengan keluarga baruku. Sebuah tempat di mana ternyata Tuhan telah mempersiapkan segenapnya, selengkapnya. Namun, aku dengar tetua di tempat tersebut akan segera purna tugas. Tentu aku merasa kehilangan sebab beliau orang baik. Tanpa perlu aku validasi, ternyata Tuhan telah memberikan validitas yang nyata dengan menghadirkan orang baru. Seseorang yang pada suatu ketika mengatakan bahwa ruangan ini, tempatku saat ini menghabiskan hari, adalah taman bermain penuh dengan keceriaan. Berbeda dengan tempat di mana orang baru ini di tempatkan. Namun, bukankah setiap hal telah di perhitungan, Bagong?
Selain hadiah keluarga yang tak kalah istimewanya dengan di masa lalu. Sebagai pengagum Konfusius, seperti yang pernah aku tulis ajarannya tentang "Jangan lakukan pada orang lain, apa yang kamu tak ingin dilakukan pada dirimu." Tulisan ini pada akhirnya aku temui dalam buku berjudul Analek, sebuah buku yang tepat sebelum aku mendapatkan keluarga baru, ini, sedang aku baca. Lalu apa hadiah lainnya, Bagong? Iya, aku dapat melihat pengikut Konfusius secara dekat.
Polanya mirip saat aku pernah mengagumi Siddharta Gautama, Tuhan menghadirkan pengikutnya. Di mana aku di perlihatkan bagaimana menjadi manusia yang bijaksana, manusia yang lembah manah, dst. Begitupula ketika aku mulai mengagumi Gayatri Mantra, Tuhan menghadirkan pemeluknya. Atau ketika aku mulai mengagumi Yesus, yang bahkan Tuhan menghadirkan pengikut setianya sebagai teman dekatku, orang-orang ini, menyebarkan cinta kasih kepada siapa saja.
Balik lagi, Bagong.
Saat aku tulis ini, memang mendekati imlek. Lalu, beliau mengajak kami semua wedangan. Aku pilih minum kacang hijau, semi bubur, mungkin. Menjadi filosofi kesederhanaan dan kebijaksanaan. Pengiringnya adalah lumpia, sebagai simbolis keuntungan dan kemakmuran. Tentu sebagai pribadi, itu menjadi sebuah do'a, di mana di dalamnya tersusun dari harapan dan ketakutan.
Meski dahulu aku adalah orang yang kontra dengan arus do'a di media sosial. Pada akhirnya aku setuju, bukan tanpa alasan. Akan tetapi, mungkin aku akan bercerita denganmu lain kali, Bagong. Tulisan ini sudah cukup panjang, sesuatu yang telah lama tidak aku lakukan, namun, aku juga memahami bahwa pembacaku bukanlah pengangguran yang punya banyak waktu. Itulah mengapa tulisanku singkat-singkat saja. Esensinya, aku percaya bahwa Tuhan Maha Mengetahui, tidak terkecuali semua yang kita lakukan di dunia termasuk dunia maya.
Sebagai penutup.
Tuhan, anugerahkanlah yang lebih lagi kepada orang-orang yang telah berbaik kepadaku. Panjangkanlah umurnya, sehatkanlah ia. Bukankah Engkau senang jika dunia di isi oleh orang-orang yang baik? Jika bukan kepada-Mu, kepada siapa lagi aku meminta? Aku memohon? Tuhan, terimalah bisikku.
Gabung dalam percakapan