Suara

Blawong Kulon


Bagong, Petruk, Gareng. Biasanya kalau lebaran, tanda lebaran buatku adalah pulang ke kampung halaman. Selain itu, yang sejak beberapa tahun ini aku sadari yaitu suara imam masjid ketika sholat idulfitri selalu menyihirku. Ah, ya, apa karena aku ndak bisa ngaji jadi level pendengaranku hanya sekelas imam desa? Heuheuheu.

Tapi, iya, mungkin aku bisa saja tersihir oleh imam-imam lain. Misalnya imam di sebuah tempat dekat sungai banjir kanal barat. Meski terlihat gedung PeKaEs gagah di hadapannya, aku pernah mengunjunginya. Suaranya halus, sampai tak terasa jika getaran itu sudah memenuhi gendang telingamu.

Atau sebuah suara yang pernah ku dengar dari toa pada suatu tempat perbatasan antara kota atlas dan kota santri. Meski aku tak pernah ke sana atau bahkan tak tau nama gedungnya, namun, dari alunan suaranya, ini seperti suara seorang yang dalam kisahnya ia tak sanggup azan dan malah meneteskan air mata. Oiya, tentu jika aku tak salah dengar. Sebab dahulu saat di ceritakan kisah ini, mungkin aku tertidur di atas meja.

Pada akhirnya, dari Jum'at ke Jum'at berikutnya. Aku selalu terpikirkan, bagaimana suara imam di desaku itu jika membaca surat yang sama ketika hari Jum'at? Sangking pengennya, sampai mungkin, lagi-lagi mungkin, ternyata surat-surat di hari Jum'at ini ku amati hanya sekitar empat saja. Meski aku pernah mendengar dua kali surat yang juga ku senangi, di dalamnya terdapat kata kemenangan yang nyata juga cahaya bagi langit dan bumi. 

Meski pagi hari pertama idulfitri aku tak di desa, namun ternyata Tuhan memberikan hadiah istimewa. Jum'at itu, seorang imam desaku membaca, jika aku tak salah dengar adalah Al-A'la & Al-Ghasyiyah. Ya, sekali lagi jika aku tak salah dengar. Bait demi bait tersebut sukses menyihir hatiku, memang merdu dan tandas.

Setelahnya, aku terpikirkan satu hal. Siapakah yang akan menggantikannya nanti?

Bukan siapa-siapa. Hanya pejalan biasa